Site icon Reflektif

Walid dan Wajah Gelap Otoritas: Manipulasi Psikologis Berkedok Keimanan

Dalam dunia yang semakin kompleks, kepercayaan terhadap figur otoritas sering kali menjadi jangkar bagi individu yang mencari arah dan makna hidup. Namun, apa yang terjadi ketika otoritas tersebut menyimpang dari nilai-nilai moral dan etika? Serial Malaysia Bidaah yang tengah viral menghadirkan sosok Walid, pemimpin sekte Jihad Ummah, sebagai cermin dari penyalahgunaan kekuasaan atas nama agama.​

Walid digambarkan sebagai pemimpin karismatik yang memanipulasi ajaran agama demi kepentingan pribadi. Ia memanfaatkan kelemahan emosional dan spiritual para pengikutnya, khususnya perempuan muda, untuk melakukan “pernikahan batin” dengan janji imbalan surga. Adegan ini menjadi sorotan utama warganet karena sangat relevan dengan kasus-kasus ajaran sesat yang pernah muncul di berbagai tempat.

Fenomena ini mengingatkan kita pada konsep “agentic state” dalam eksperimen Stanley Milgram, di mana individu cenderung menanggalkan tanggung jawab pribadi ketika berada di bawah perintah otoritas yang dianggap sah. Dalam konteks Walid, para pengikutnya tunduk pada perintahnya karena melihatnya sebagai figur religius yang tak terbantahkan.​

Manipulasi Psikologis dan Dinamika Kekuasaan

Dari perspektif psikologi sosial, karakter Walid menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat digunakan untuk memanipulasi dan mengontrol individu melalui teknik-teknik psikologis. Ia menggunakan bahasa religius dan simbol-simbol keagamaan untuk membangun citra diri sebagai pemimpin spiritual yang memiliki otoritas mutlak. Hal ini menciptakan ketergantungan emosional dan kognitif pada dirinya, sehingga para pengikutnya sulit untuk mempertanyakan atau menolak perintahnya.

Michel Foucault, dalam analisisnya tentang kekuasaan dan pengetahuan, menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga produktif; ia membentuk subjek melalui diskursus dan praktik sosial. Dalam kasus Walid, kekuasaan diekspresikan melalui narasi keagamaan yang membentuk identitas dan perilaku para pengikutnya.​

Menciptakan Kota Bebas Kemacetan: Pembangunan Kereta Bawah Tanah sebagai Solusi

Dalam psikologi sosial, manipulasi psikologis adalah proses memengaruhi pikiran dan perilaku seseorang dengan cara yang tidak disadari oleh korbannya. Karakter Walid dalam serial Bidaah adalah gambaran ekstrem dari pemimpin yang memahami cara kerja pikiran manusia, terutama dalam kondisi tertekan, gelisah, atau kehilangan arah spiritual. Ia bukan hanya menyebarkan doktrin keagamaan, tetapi meracik ajaran yang secara emosional dan psikologis menenangkan para pengikutnya — meskipun itu palsu bahkan menyimpang dari ajaran agama.

Philip Zimbardo, dalam eksperimen Stanford Prison-nya, menunjukkan betapa cepat seseorang dapat kehilangan identitas moralnya ketika berada dalam struktur kekuasaan yang tidak sehat. “Kekuatan bukan hanya mampu memengaruhi tindakan seseorang, tetapi juga mengubah persepsi tentang realitas,” kata Zimbardo. Walid menciptakan sistem realitas alternatif melalui narasi agama yang dikendalikan sepenuhnya olehnya: ia menjadi interpretator tunggal atas kehendak Tuhan.

Sementara itu, Erich Fromm, dalam Escape from Freedom, menjelaskan bahwa manusia sering kali melarikan diri dari kebebasan karena takut pada tanggung jawab dan ketidakpastian. Figur seperti Walid hadir sebagai ‘pelindung’ dari kecemasan eksistensial itu. Ia menawarkan kepastian—tentang surga, tentang keselamatan, tentang kebenaran mutlak—yang sulit ditolak oleh individu yang sedang mencari makna.

Di sinilah dinamika kekuasaan bekerja: ketika seseorang berhasil memposisikan dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan makna hidup, maka kekuasaan itu menjadi otoritarian. Max Weber menyebut bentuk kekuasaan seperti ini sebagai karismatik authority, di mana otoritas muncul bukan karena legalitas atau rasionalitas, melainkan karena daya tarik pribadi dan spiritual dari sang pemimpin. Tetapi, ketika otoritas karismatik ini tidak dibatasi oleh norma sosial, hukum, atau akal sehat, ia rentan jatuh ke dalam tirani tersembunyi.

Hal yang paling menakutkan adalah ketika para pengikut mulai menikmati posisi mereka sebagai subjek. Mereka merasa “damai” karena tidak harus berpikir sendiri. Mereka menyerahkan tanggung jawab moral kepada Walid, dan inilah yang oleh Hannah Arendt disebut sebagai banality of evil—bukan karena manusia jahat secara inheren, tapi karena mereka berhenti berpikir dan membiarkan kejahatan terjadi atas nama ketaatan.

Meningkatkan Kesadaran Orang Tua: Aksi Damai dalam Memilih Tontonan Bermutu untuk Anak

Refleksi dan Kesadaran Kolektif

Serial Bidaah tidak hanya menyajikan cerita fiksi, tetapi juga mengajak penonton untuk merenungkan realitas sosial di sekitar mereka. Karakter Walid menjadi simbol dari penyalahgunaan otoritas yang dapat terjadi dalam berbagai konteks, termasuk dalam institusi keagamaan. Hal ini menekankan pentingnya kesadaran kritis dan literasi keagamaan yang sehat dalam masyarakat.

Serial Bidaah membuka ruang diskusi penting tentang perlunya kesadaran kolektif terhadap bagaimana otoritas keagamaan dibangun, dilanggengkan, dan bisa menyimpang. Walid bukan hanya produk dari ambisi pribadi, tetapi juga dari sistem sosial yang gagal mengembangkan budaya berpikir kritis. Ia bisa tumbuh besar karena ada ruang kosong dalam diri pengikutnya—kosong dari pengetahuan, kepercayaan diri, dan pengalaman spiritual yang autentik.

Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menyatakan bahwa masyarakat yang pasif adalah hasil dari pendidikan yang membungkam kesadaran kritis. “Tujuan pendidikan adalah membebaskan, bukan mendoktrinasi.” Ketika ajaran agama hanya ditanamkan sebagai hafalan dogma tanpa diskusi dan pemaknaan ulang, maka yang muncul adalah ketundukan, bukan penghayatan. Dalam konteks ini, bidaah bukan hanya sebuah istilah agama, tapi bisa menjadi refleksi atas bagaimana otoritas tanpa kontrol bisa menjadi alat pembodohan massal.

Refleksi kolektif mengharuskan masyarakat berani mengajukan pertanyaan: siapa yang bicara atas nama Tuhan, dan mengapa? Apakah seorang tokoh keagamaan otomatis terbebas dari kritik hanya karena membawa simbol suci? Sejatinya, otoritas keagamaan yang sehat justru mengundang kritik dan dialog, bukan menutup pintu terhadapnya.

Selain itu, kita juga perlu melihat bahwa korban manipulasi psikologis seperti dalam Bidaah bukan semata-mata orang yang bodoh atau lemah. Mereka adalah individu yang sedang mencari pegangan dalam hidup. Carl Jung berkata, “Kebanyakan orang tidak menjadi jahat karena mereka memilihnya, tetapi karena mereka tidak pernah tahu ada pilihan lain.” Artinya, membangun kesadaran kolektif berarti menyediakan alternatif: ruang aman untuk belajar, berdiskusi, dan bertumbuh dalam iman—tanpa teror, tanpa dogma yang menekan.

Petualangan di Maroko: Keindahan Alam dan Kekayaan Tradisi yang Mengagumkan

Pada akhirnya, film ini memberi pelajaran bahwa keimanan sejati bukan tentang siapa yang kita ikuti, tetapi bagaimana kita bertanggung jawab atas apa yang kita yakini. Ia adalah ruang batin yang terus-menerus kita bangun, bukan karena kita takut, tetapi karena kita sadar.

Exit mobile version